Jumat, 22 April 2016

Teori Sastra

BAB I
PEMBAHASAN


A.     SASTRA SEBAGAI SENI : MASALAH ESTETIKA
      1.      Ilmu sastra dan estetik
            Karya sastra dapat didekati dari dua segi yang cukup berbeda: sampai sekarang terutama dibicarakan masalah yang berkaitan dengan sastra sebagai seni bahasa, dengan tekanan pada aspek kebahasaannya dalam kaitan dan pertentangannya dengan bentuk dan pemakaian bahasa yang lain. Tetapi sastra juga merupakan bentuk seni, jadi dapat didekati dari aspek keseniannya. Dari segi inilah ilmu sastra merupakan cabang ilmu seni atau estetik.
            Dalam praktek penelitian sastra biasanya ilmu bahasa lebih ditekankan dengan ilmu seni, sedangkan estetik sendiri lebih mencurahkan perhatian pada seni-seni lain (khususnya seni lukis, seni patung, seni ukir, seni tari, seni music, seni bangun, dan lain-lain) dari pada seni bahasa. Alasan untuk mendahulukan seni-seni bukan bahasa mudah dipahami: justru seni bahasa menimbulkan masalah yang khas, karena bahasa sebagai sarana seni bagi seniman pada prinsipnya yang berbeda. Bahasa sebelum dipakai oleh seniman sudah membentuk system tanda dengan system makna yang mau tak mau mendasari ciptaan sastrawan. Masalah estetik tidak bisa didiamkan sama sekali dalam sebuah buku yang ingin membicarakan aspek-aspek dasar sastra. Hasil-hasil dan kesimpulan-kesimpulan yang telah diperoleh dalam rangka menyeluruh yang bersifat semiotic dan yang memberikan perspektif. 
      2.      Sedikit Sejarah Estetik Sastra Barat
            Estetik didunia barat sama tuanya dengan filsafat. Khususnya dalaam filsafat Plato masalah estetik memainkan peranan yang sangat penting. Keindahan yang mutlak menurut Plato hanya terdapat pada tingkat dunia ide-ide dan dunia ide yang mengatasi kenyataan itulah dunia ilahi yang langsung terjangkau oleh manusia, para filsuflah yang pertama-tamma dapat mendekati dunia ide dengan harmoni yang ideal.
            Seni sebagai pembayangan keindahan ideal berabad-abad lamanya menjadi dasar ajaran estetik. Kemudian diwarnai oleh ajaran agama dan filsafat Kristen. Manusia harus memanfaatkan seni dan kemampuannya sebagai seniman dan penikmat seni untuk berbakti kepada Tuhan, untuk menghayati kemahamuliaan Tuhan sebagai pencipta, dan untuk menyadari kehinaannya selaku makhluk yang berdosa.
            Pemandangan mengenai seni dari segi estetik pada masa itu berdasarkan dua hal yang hakiki: pertama persatuan mutlak dari yang baik, yang benar dan yang indah sangat lama menguasai estetik dunia Barat, dengan konsekuensi pengabdian seni pada filsafat (teologi) dan etik; hanya baik dan benar dapat bersifat indah; karya seni yang melanggar norma teologi atau etik, norma kebenaran dan kebaikan, tidak mungkin indah. Dalam trilogy baik-benar-indah, indahlah yang harus tunduk pada dua konsep yang lain.Cirri khas yang lain ialah seni sebagai imitatio (nature): peneladanan alam sebagai ciptaan Tuhan, semacam system menyeluruh dari alam semesta yang tak terhabiskan kayanya sebagai sumber ilham, sehingga untuk selama-lamanya akan mencukupi bagi manusia-seniman manapun juga.
3.      Estetik Terlepas Dari Norma Agama Dan Etika
            Norma-norma untuk estetik pada suatu pihak terdapat dalam etik dan filsafat, pada pihak lain pada model dunia semesta yang tinggal diteladani saja. zaman humanism pandangan dunia dan anggapan estetik tetap sama, memang secara sadar mengalami dan menikmati keindahan alam sebagai suatu yang baru bagi dia pribadi; tetapi doa masih terikat pada alam sebagai teladan, ciptaan tuhan dan penikmat yang secara sadar dialaminya bagi dia tidak menjadi kemampuan yang menyanggupkannya selaku seniman merebut dunia menjadi perolehan individual.
            Estetik tidak tergantung lagi dari filsafat, teologi ataupun etik. Keindahan menjadi otonom terhadap kebaikan dan kebenaran. Hal itu berarti bahwa seni Barat kehilangan norma mutlak untuk keindahan. Pandangan mengenai Estetik di barat berkembang ke berbagai arah, dua perkembangan masih hendak disebut secara singkat. Pada satu pihak perkembangan yang menyerahkann pengalaman estetik secara mutlak kepada penikmat, jadi pembaca, penonton, pendengar: menurut pendapat ini keindahan, nilai estetik bukanlah suatu yang secara obyektif terletak dalam karya seni: penikmat menjadi pencipta.
            Seni secara mimetic muncul dari masyarakat semacam itu, masyarakat secara alienasi atau keterasingan, yang dikuasai oleh nilai-nilai estetik. Seni demi dan dari diri sendiri harus menyerang dan menafikan kenyataan yang ada. Teori estetik penafian dalam masyarakat Barat modern dimana masyarakat dikuasai oleh nilai-nilai kebendaan, dimana manusia makin terasing dan dimana seni terancam pula oleh produksi yang ditentukan oleh nilai-nilai konsumsi.
            Secara universal kenikmatan, keterharuan, kekaguman, kemarahan, yang ditimbulkan pada pembaca karya sastra tidak terikat pada negativitas (tidak pula pada positivitas ataupun afirmasi belaka).          


      4.      Beberapa Pendekatan Estetik Indonesia: Melayu dan Jawa Kuno
            Estetik yang universal dalam arti: umum diterima dan berlaku untuk seni di segala masa dan tempat, belum ada; sebaliknya, perbedaan dan pertentangan pendapat para ahli makin sengit, tergantung pada pendirian filsafat, social-politik dan etik para ahli yang bersangkutan. Memang teori estetik yang eksplisit tidak diketahui dibidang sastra Indonesia tradisional. Tetapi ada konsepsi estetik yang secara implicit terkandung dalam sastra melayu klasik dan dalam puisi jawa kuno. Teori ini belakangan digali oleh peneliti karya-karya sastra yang bersangkutan dan yang kemudian di paparkan dalam studi yang dangat menarik.
            Braginsky secara sistematik mencoba menguraikan konsep estetik yang mendasari sastra melayu klasik. Braginsky membedakan tiga aspek pada konsep keindahan melayu: Aspek ontologisnya, yaitu keindahan puisi sebagai pembayangan kekayaan tuhan yang maha pencipta; berkat cipta-Nya keindahan mutlak dari Tuhan ( al-jamal = Yang mahaelok) dikesankan pada keindahan dunia gejala (husn=indah), khususnya dalam karya seni dan sastra. Kemudian aspek imanen dari yang indah, yang terungkapkan dalam kata-kata seperti, ghaib, ajaib, tamasya, dan lain-lain, dan selalu terwujud dalam keanekaragaman, keberbagaian yang harmonis dan teatur, baik dalam alam, maupun dalam ciptaan manusia. Aspek ini antara lain dalam karya sastra terwujud dalam evokasi taman yang indah-indah, ratna-mutu-manikam, perhiasan, dan lain-lain; justru keterlibatan pancaindera dianggap cirri khas keindahan yang sempurna. Aspek ketiga konsep indah melayu berkaitan dengan efeknya: aspek psikologis ataupun pragmatic: efek pembaca yang menjadi heran, birahi, leka, lupa, yang kehilangan kepribadiannya karena mabuk, dimabuk warna, keanekaragaman dan lain-lain, yang juga terungkap dalam istilah pelipur lara.
            Konsepsi estetik jawa kuno berdasarkan penelitian puluah teks kakawin (bentuk puisi epic yang terkenal dalam bahasa jawa kuno)mencapai kesimpulan bahwa puisi bagi sang penyair (kawi namanya) adalah semacam yoga; kawi sendiri orang yogin, yaitu orang yang melakukan yoga atau latihan rohani tertentu. Dalam agama Hindu-Jawa yoga adalah usaha manusia untuk mencapai kesatuan dengan Sang Dewa, dan lewat kesatuan keagamaan itu manusia akhirnya mencapai moksa, kelepasan pembebasan akhir dari rantai ekstensi. Bagi orang lain yoga biasanya bersifat usaha rohanu (pengabdian kepada sang Dewa lewat tapa, brata, puasa, studi, semadi, sesajen, pembacaan teks agama dan lain-lain). Lewat bermacam-maca, manusia harus mencoba mengurungkan sang Dewa ke bumi agar manusia dapat bersatu dengan Dewa itu.
            Dalam kawawin yang melaksanakan keindahan lewat bahasa ( kalangwan, beauty) diciptakan wadah keindahan membentuk dan menjelmakan keindahan, agar dapat menjadi wadah sang Dewa dan sekaligus obyek pemusatan pikiran, baik bagi penciptanya, maupun untuk orang yang membaca, membacakan dan mendengarkan kakawin itu.

      5.      Tegangan sebagai Dasar Penilaian Estetika
            Setiap masyarakat dan kebudayaan mengembangkan estetik yang sesuai, entah itu dieskplisitkan atau tinggal implicit dalam sastra dan kebudayaan. Oleh karena itu, penelitian estetik harus mendapat tempat yang layak dalam rangka penelitian kebudayaan umum.
            Nilai estetik adalah sestau yang lahir dari tegangan antara pembaca dan karya; tergantung pada aktifitas pembaca selaku pemberi arti. oleh karena itu nilai estetik adalah proses yang terus-menerus, bukan pemerolehan yang tertata, sekali diperoleh tetap dimengerti.
             Jadi tegangan adalah, syarat mutlak, dasar hakiki untuk penikmatan estetik; dan tegangan itu pertama-tama terjelma antara karya seni sebagai pemberian dan penikmat sebagai variable, tapi tegangan itu ternyata sangat kompleks dan anekaragam; hal itu dapat dikupas secara lebih mendetail, berdasarkan model semiotic menyeluruh yang telah dikembangan langkah demi langkah dalam bab-bab yang mendahului.
      6.      Tegangan Pertama: Fungsi Puitik Bahasa
            Tegangan yang pertama yang dihadapi oleh pembaca tidak perlu dibicarakan lagi dengan panjang lebar: yakni tegangan yang ditimbulkan oleh pemakaian bahasa sendiri dalam seni sastra. Setiap sastrawan, baik dalam masyarakat tradisional maupun modern, mempermainkan bahasa, sesuai dengan norma-norma yang terdapat masyarakat itu sendiri. Dalam sastra arti sehari-hari ditingkatkan menjadi makna semiotic, entah disebut ambiguitas, ironi atau apapun itu.
            Di sini jelas adanya tegangan antara harapan yang harus dipenuhi dan disimpangi sekaligus. Tegangan dapat terjadi karena bermacam-macam keistimewaan: pemakaian kata-kata yang aneh, kolot, asing, kata majemuk yang baru.
     7.      Tegangan Yang Inheren Pada Stuktur Karya Sastra
            Struktur karya sastra bersifat multidimensional, atau berlapis-lapis, seringkali disebut hirearkis. Entah pembagian struktur berlaku universal atau tidak, namun jelaslah setiap karya sastra mempunyai sejumlah aspek yang paling menopang dan yang seringkali menunjukkan interaksi yang kuat sekali. Interaksi dan tegangannya diperjelas dan dikupas dengan teliti, dan jelas bahwa tegangan merupakan syarat untuk penikmatan estetik. Pembaca sebuah karya terus berada dalam situasi tegang antara semua aspek yang ingin dibina menjadi keseluruhan yang utuh.    
            Perlu diingat bahwa stuktur semacam itu tidak bersifat mutlak, pembaca harus menciptakan tegangan itu, yang potensinya diberikan dalam karya sastra, tetapi pelaksanaannya tergantung pada sesanggupan pada pembaca itu sendiri.         
  
PENUTUP

      A.    Simpulan

Karya sastra dapat didekati dari dua segi yang cukup berbeda: sampai sekarang terutama dibicarakan masalah yang berkaitan dengan sastra sebagai seni bahasa, dengan tekanan pada aspek kebahasaannya dalam kaitan dan pertentangannya dengan bentuk dan pemakaian bahasa yang lain. Tetapi sastra juga merupakan bentuk seni, jadi dapat didekati dari aspek keseniannya. Dari segi inilah ilmu sastra merupakan cabang ilmu seni atau estetik.
Penelitian sastra biasanya ilmu bahasa lebih ditekankan dengan ilmu seni, sedangkan estetik sendiri lebih mencurahkan perhatian pada seni-seni lain (khususnya seni lukis, seni patung, seni ukir, seni tari, seni music, seni bangun, dan lain-lain) dari pada seni bahasa. Alasan untuk mendahulukan seni-seni bukan bahasa mudah dipahami: justru seni bahasa menimbulkan masalah yang khas, karena bahasa sebagai sarana seni bagi seniman pada prinsipnya yang berbeda.



DAFTAR PUSTAKA



Annisa Nurbaiti . 2015 . Tugas Sastra . Jakarta          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Disney Mickey Mouse Glitter