Jumat, 22 April 2016
Teori Sastra
BAB I
PEMBAHASAN
A.
SASTRA SEBAGAI SENI : MASALAH ESTETIKA
1.
Ilmu sastra dan estetik
Karya sastra dapat didekati dari dua segi yang cukup
berbeda: sampai sekarang terutama dibicarakan masalah yang berkaitan dengan
sastra sebagai seni bahasa, dengan
tekanan pada aspek kebahasaannya dalam kaitan dan pertentangannya dengan bentuk
dan pemakaian bahasa yang lain. Tetapi sastra juga merupakan bentuk seni, jadi dapat didekati dari aspek
keseniannya. Dari segi inilah ilmu sastra merupakan cabang ilmu seni atau
estetik.
Dalam praktek penelitian sastra biasanya ilmu bahasa
lebih ditekankan dengan ilmu seni, sedangkan estetik sendiri lebih mencurahkan
perhatian pada seni-seni lain (khususnya seni lukis, seni patung, seni ukir,
seni tari, seni music, seni bangun, dan lain-lain) dari pada seni bahasa.
Alasan untuk mendahulukan seni-seni bukan bahasa mudah dipahami: justru seni
bahasa menimbulkan masalah yang khas, karena bahasa sebagai sarana seni bagi
seniman pada prinsipnya yang berbeda. Bahasa sebelum dipakai oleh seniman sudah
membentuk system tanda dengan system makna yang mau tak mau mendasari ciptaan
sastrawan. Masalah estetik tidak bisa didiamkan sama sekali dalam
sebuah buku yang ingin membicarakan aspek-aspek dasar sastra. Hasil-hasil dan
kesimpulan-kesimpulan yang telah diperoleh dalam rangka menyeluruh yang
bersifat semiotic dan yang memberikan perspektif.
2.
Sedikit Sejarah Estetik Sastra Barat
Estetik didunia barat sama tuanya dengan filsafat.
Khususnya dalaam filsafat Plato masalah estetik memainkan peranan yang sangat
penting. Keindahan yang mutlak menurut Plato hanya terdapat pada tingkat dunia
ide-ide dan dunia ide yang mengatasi kenyataan itulah dunia ilahi yang langsung
terjangkau oleh manusia, para filsuflah yang pertama-tamma dapat mendekati
dunia ide dengan harmoni yang ideal.
Seni sebagai pembayangan keindahan ideal berabad-abad
lamanya menjadi dasar ajaran estetik. Kemudian diwarnai oleh ajaran agama dan
filsafat Kristen. Manusia harus memanfaatkan seni dan kemampuannya sebagai
seniman dan penikmat seni untuk berbakti kepada Tuhan, untuk menghayati
kemahamuliaan Tuhan sebagai pencipta, dan untuk menyadari kehinaannya selaku
makhluk yang berdosa.
Pemandangan mengenai seni dari segi estetik pada masa itu
berdasarkan dua hal yang hakiki: pertama persatuan mutlak dari yang baik, yang
benar dan yang indah sangat lama menguasai estetik dunia Barat, dengan
konsekuensi pengabdian seni pada filsafat (teologi) dan etik; hanya baik dan
benar dapat bersifat indah; karya seni yang melanggar norma teologi atau etik,
norma kebenaran dan kebaikan, tidak mungkin indah. Dalam trilogy
baik-benar-indah, indahlah yang harus tunduk pada dua konsep yang lain.Cirri
khas yang lain ialah seni sebagai imitatio
(nature): peneladanan alam sebagai ciptaan Tuhan, semacam system menyeluruh
dari alam semesta yang tak terhabiskan kayanya sebagai sumber ilham, sehingga
untuk selama-lamanya akan mencukupi bagi manusia-seniman manapun juga.
3.
Estetik Terlepas Dari Norma Agama Dan Etika
Norma-norma untuk estetik pada suatu pihak terdapat dalam
etik dan filsafat, pada pihak lain pada model dunia semesta yang tinggal
diteladani saja. zaman humanism pandangan dunia dan anggapan estetik tetap
sama, memang secara sadar mengalami dan menikmati keindahan alam sebagai suatu
yang baru bagi dia pribadi; tetapi doa masih terikat pada alam sebagai teladan,
ciptaan tuhan dan penikmat yang secara sadar dialaminya bagi dia tidak menjadi
kemampuan yang menyanggupkannya selaku seniman merebut dunia menjadi perolehan
individual.
Estetik tidak tergantung lagi dari filsafat, teologi
ataupun etik. Keindahan menjadi otonom terhadap kebaikan dan kebenaran. Hal itu
berarti bahwa seni Barat kehilangan norma mutlak untuk keindahan. Pandangan
mengenai Estetik di barat berkembang ke berbagai arah, dua perkembangan masih
hendak disebut secara singkat. Pada satu pihak perkembangan yang menyerahkann
pengalaman estetik secara mutlak kepada penikmat, jadi pembaca, penonton,
pendengar: menurut pendapat ini keindahan, nilai estetik bukanlah suatu yang
secara obyektif terletak dalam karya seni: penikmat menjadi pencipta.
Seni secara mimetic muncul dari masyarakat semacam itu,
masyarakat secara alienasi atau keterasingan, yang dikuasai oleh nilai-nilai
estetik. Seni demi dan dari diri sendiri harus menyerang dan menafikan
kenyataan yang ada. Teori estetik penafian dalam masyarakat Barat modern dimana
masyarakat dikuasai oleh nilai-nilai kebendaan, dimana manusia makin terasing
dan dimana seni terancam pula oleh produksi yang ditentukan oleh nilai-nilai
konsumsi.
Secara universal kenikmatan, keterharuan, kekaguman,
kemarahan, yang ditimbulkan pada pembaca karya sastra tidak terikat pada
negativitas (tidak pula pada positivitas ataupun afirmasi belaka).
4.
Beberapa Pendekatan Estetik Indonesia: Melayu dan Jawa Kuno
Estetik yang universal dalam arti: umum diterima dan
berlaku untuk seni di segala masa dan tempat, belum ada; sebaliknya, perbedaan
dan pertentangan pendapat para ahli makin sengit, tergantung pada pendirian
filsafat, social-politik dan etik para ahli yang bersangkutan. Memang teori
estetik yang eksplisit tidak diketahui dibidang sastra Indonesia tradisional.
Tetapi ada konsepsi estetik yang secara implicit terkandung dalam sastra melayu
klasik dan dalam puisi jawa kuno. Teori ini belakangan digali oleh peneliti
karya-karya sastra yang bersangkutan dan yang kemudian di paparkan dalam studi
yang dangat menarik.
Braginsky secara sistematik mencoba
menguraikan konsep estetik yang mendasari sastra melayu klasik. Braginsky
membedakan tiga aspek pada konsep keindahan melayu: Aspek ontologisnya, yaitu keindahan puisi sebagai pembayangan kekayaan
tuhan yang maha pencipta; berkat cipta-Nya keindahan mutlak dari Tuhan (
al-jamal = Yang mahaelok) dikesankan pada keindahan dunia gejala (husn=indah), khususnya dalam karya seni
dan sastra. Kemudian aspek imanen dari
yang indah, yang terungkapkan dalam kata-kata seperti, ghaib, ajaib, tamasya, dan lain-lain, dan selalu terwujud dalam
keanekaragaman, keberbagaian yang harmonis dan teatur, baik dalam alam, maupun
dalam ciptaan manusia. Aspek ini antara lain dalam karya sastra terwujud dalam
evokasi taman yang indah-indah, ratna-mutu-manikam, perhiasan, dan lain-lain;
justru keterlibatan pancaindera dianggap cirri khas keindahan yang sempurna.
Aspek ketiga konsep indah melayu berkaitan dengan efeknya: aspek psikologis
ataupun pragmatic: efek pembaca yang menjadi heran, birahi, leka, lupa, yang
kehilangan kepribadiannya karena mabuk, dimabuk warna, keanekaragaman dan
lain-lain, yang juga terungkap dalam istilah pelipur lara.
Konsepsi estetik jawa kuno
berdasarkan penelitian puluah teks kakawin (bentuk puisi epic yang terkenal
dalam bahasa jawa kuno)mencapai kesimpulan bahwa puisi bagi sang penyair (kawi namanya) adalah semacam yoga; kawi
sendiri orang yogin, yaitu orang yang
melakukan yoga atau latihan rohani tertentu. Dalam agama Hindu-Jawa yoga adalah
usaha manusia untuk mencapai kesatuan dengan Sang Dewa, dan lewat kesatuan
keagamaan itu manusia akhirnya mencapai moksa,
kelepasan pembebasan akhir dari rantai ekstensi. Bagi orang lain yoga biasanya
bersifat usaha rohanu (pengabdian kepada sang Dewa lewat tapa, brata, puasa,
studi, semadi, sesajen, pembacaan teks agama dan lain-lain). Lewat
bermacam-maca, manusia harus mencoba mengurungkan sang Dewa ke bumi agar
manusia dapat bersatu dengan Dewa itu.
Dalam kawawin yang melaksanakan
keindahan lewat bahasa ( kalangwan,
beauty) diciptakan wadah keindahan membentuk dan menjelmakan keindahan,
agar dapat menjadi wadah sang Dewa dan sekaligus obyek pemusatan pikiran, baik
bagi penciptanya, maupun untuk orang yang membaca, membacakan dan mendengarkan
kakawin itu.
5.
Tegangan sebagai Dasar Penilaian Estetika
Setiap masyarakat dan kebudayaan
mengembangkan estetik yang sesuai, entah itu dieskplisitkan atau tinggal
implicit dalam sastra dan kebudayaan. Oleh karena itu, penelitian estetik harus
mendapat tempat yang layak dalam rangka penelitian kebudayaan umum.
Nilai estetik adalah sestau yang
lahir dari tegangan antara pembaca dan karya; tergantung pada aktifitas pembaca
selaku pemberi arti. oleh karena itu nilai estetik adalah proses yang
terus-menerus, bukan pemerolehan yang tertata, sekali diperoleh tetap
dimengerti.
Jadi tegangan adalah, syarat mutlak,
dasar hakiki untuk penikmatan estetik; dan tegangan itu pertama-tama terjelma
antara karya seni sebagai pemberian dan penikmat sebagai variable, tapi
tegangan itu ternyata sangat kompleks dan anekaragam; hal itu dapat dikupas
secara lebih mendetail, berdasarkan model semiotic menyeluruh yang telah
dikembangan langkah demi langkah dalam bab-bab yang mendahului.
6.
Tegangan Pertama: Fungsi Puitik Bahasa
Tegangan yang pertama yang dihadapi
oleh pembaca tidak perlu dibicarakan lagi dengan panjang lebar: yakni tegangan
yang ditimbulkan oleh pemakaian bahasa sendiri dalam seni sastra. Setiap
sastrawan, baik dalam masyarakat tradisional maupun modern, mempermainkan
bahasa, sesuai dengan norma-norma yang terdapat masyarakat itu sendiri. Dalam
sastra arti sehari-hari ditingkatkan menjadi makna semiotic, entah disebut
ambiguitas, ironi atau apapun itu.
Di sini jelas adanya tegangan antara
harapan yang harus dipenuhi dan disimpangi sekaligus. Tegangan dapat terjadi
karena bermacam-macam keistimewaan: pemakaian kata-kata yang aneh, kolot,
asing, kata majemuk yang baru.
7.
Tegangan Yang Inheren Pada Stuktur Karya Sastra
Struktur karya sastra bersifat
multidimensional, atau berlapis-lapis, seringkali disebut hirearkis. Entah
pembagian struktur berlaku universal atau tidak, namun jelaslah setiap karya
sastra mempunyai sejumlah aspek yang paling menopang dan yang seringkali
menunjukkan interaksi yang kuat sekali. Interaksi dan tegangannya diperjelas
dan dikupas dengan teliti, dan jelas bahwa tegangan merupakan syarat untuk
penikmatan estetik. Pembaca sebuah karya terus berada dalam situasi tegang
antara semua aspek yang ingin dibina menjadi keseluruhan yang utuh.
Perlu diingat bahwa stuktur semacam
itu tidak bersifat mutlak, pembaca harus menciptakan tegangan itu, yang
potensinya diberikan dalam karya sastra, tetapi pelaksanaannya tergantung pada
sesanggupan pada pembaca itu sendiri.
PENUTUP
A. Simpulan
Karya
sastra dapat didekati dari dua segi yang cukup berbeda: sampai sekarang
terutama dibicarakan masalah yang berkaitan dengan sastra sebagai seni bahasa, dengan tekanan pada aspek
kebahasaannya dalam kaitan dan pertentangannya dengan bentuk dan pemakaian
bahasa yang lain. Tetapi sastra juga merupakan bentuk seni, jadi dapat didekati dari aspek keseniannya. Dari segi inilah
ilmu sastra merupakan cabang ilmu seni atau estetik.
Penelitian sastra biasanya
ilmu bahasa lebih ditekankan dengan ilmu seni, sedangkan estetik sendiri lebih
mencurahkan perhatian pada seni-seni lain (khususnya seni lukis, seni patung,
seni ukir, seni tari, seni music, seni bangun, dan lain-lain) dari pada seni
bahasa. Alasan untuk mendahulukan seni-seni bukan bahasa mudah dipahami: justru
seni bahasa menimbulkan masalah yang khas, karena bahasa sebagai sarana seni
bagi seniman pada prinsipnya yang berbeda.
DAFTAR
PUSTAKA
Annisa Nurbaiti . 2015 . Tugas Sastra . Jakarta
Jumat, 15 April 2016
Karangan
Karangan merupakan uraian mengenai suatu hal yang disusun secara berurutan dan saling berkaitan. Karangan akan tersusun baik jika membahas satu pokok masalah atau hal. Selain itu, setiap paragraf memiliki kalimat utama dan kalimat penjelas.Kalimat utama merupakan gagasan pokok suatu paragraf. Kalimat penjelas merupakan kalimat-kalimat yang mendukung kalimat utama.
Menyusun Kerangka Karangan
Sebelum menulis karangan, kamu harus membuat kerangka karangan. Kerangka karangan memudahkan kamu menyusun karangan. Kerangka karangan merupakan pokok-pokok pikiran dari hal yang akan dibahas.
Contoh: tema ”Teknologi Komunikasi”
Kerangka karangan:
1. Pengertian satelit
2. Manfaat satelit
3. Cara kerja satelit
Cara menyusun karangan seperti berikut.
1. Menentukan tema terlebih dahulu.
2. Membuat kerangka karangan.
3. Mencari dan membaca buku-buku lain yang berkaitan dengan hal yang
dibahas.
4. Mengembangkan kerangka karangan menjadi karangan yang utuh dan
padu.
Sebelum menyusun karangan, kalian harus mengetahui dan memerhatikan penggunaan ejaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
1. Penggunaan Huruf Besar
Penggunaan huruf besar tidak pada semua kalimat. Penggunaan huruf besar telah diatur dalam EYD (Ejaan yang Disempurnakan). Penggunaan huruf besar antara lain sebagai berikut :
a. Huruf besar digunakan di awal kalimat.
Contoh: Kita harus rajin belajar agar tidak menyesal di hari kemudian.
b.Huruf besar digunakan untuk nama orang, organisasi, nama hari, bulan, judul buku, nama kitab, dan suku.
Contoh: Ayah Budi bernama Suryawinata.
Setiap hari Minggu, Dewi lari pagi.
Toni sedang membaca buku “Sains dan Teknologi”.
c. Huruf besar digunakan untuk nama-nama geografi (pulau, kota, benua, laut, selat, sungai, dan lain-lain).
Contoh: Selat Madura menghubungkan antara Madura dan Pulau Jawa. Pulau Bali terkenal dengan sebutan Pulau Dewata.
d. Huruf besar tidak digunakan untuk menulis nama jenis meskipun menggunakan nama kota, pulau, atau negara.
Contoh: Sinta mendapat oleh-oleh pisang ambon dari desa.
Dodi sangat suka jeruk bali.
2. Penggunaan Tanda Titik (.)
Penggunaan tanda titik (.), antara lain sebagai berikut.
a. Tanda titik (.) digunakan di akhir kalimat.
Contoh: Wati membeli buku.
b. Tanda titik (.) digunakan pada singkatan.
Contoh: Bapak Mulyadi, S.Pd. adalah guru bahasa Indonesia di sekolahku.
S.Pd. = Sarjana Pendidikan
Rapat dimulai pukul 08.00 s.d. 10.00. s.d. = sampai dengan
c. Tanda titik (.) digunakan untuk memisahkan angka jam, menit, dan detik.
Contoh: Pukul 15.35.20 kami berangkat ke Jakarta.
d. Tanda titik (.) tidak digunakan untuk memisahkan angka ribuan atau kelipatan yang tidak menunjukkan jumlah.
Contoh: Dia lahir pada tahun 1995 di Madiun. Bacalah kamus ini halaman 1440.
e. Tanda titik (.) tidak digunakan di belakang alamat pengirim atau nama dan alamat penerima surat.
Contoh: Jalan Merak 35
5 Agustus 2007
Yth. Santi
Jalan Makam Pahlawan 25
Sidoarjo
3. Penggunaan Tanda Koma (,)
Penggunaan tanda koma (,), antara lain sebagai berikut.
a. Tanda koma (,) digunakan untuk perincian.
Contoh: Ibu membeli sayur, buah, dan bahan pokok.
b. Tanda koma (,) digunakan untuk memisahkan tempat dan tanggal surat.
Contoh: Surakarta, 20 Mei 2007
c. Tanda koma (,) digunakan untuk memisahkan anak kalimat dan induk kalimat jika anak kalimat mendahului induk kalimat.
Contoh: Karena sakit, Soni tidak pergi ke sekolah.
Daftar Pustaka :
- Iskandar, Sukini . 2009 . Bahasa Indonesia . Jakarta : Pusat Pebukuan.
Kata Baku & Tidak Baku
Kata baku merupakan kata yang cara pengucapan atau penulisannya sesuai dengan kaidah-kaidah standar atau kaidah yang telah dibakukan. Kaidah standar yang dimaksud dapat berupa pedoman ejaan (EyD), tata bahasa baku, atau kamus umum. Sedangkan kata tidak baku merupakan kata yang cara pengucapan atau penulisannya tidak memenuhi kaidah-kaidah umum tersebut.
Kata kenapa, nggak, gitu, ngalir, nyari, dan gini yang terdapat dalam percakapan merupakan bentuk kata yang tidak baku. Bentuk bakunya dapat ditulis sebagai berikut :
Daftar Pustka :
- Iskandar, Sukini. 2009. Bahasa Indonesia . Jakarta : Pusat Perbukuan.
PIDATO
Pidato merupakan bentuk komunikasi lisan satu arah yang berisi penyampaian gagasan dari pembicara/orator kepada pendengan.
- Metode Berpidato
- Naskah : berpidato dengan cara membaca naskah.
- Hafal : berpidato dengan menghafalkan materi yang akan disampaikan.
- Ekstemporan : berpidato dengan melakukan persiapan berupa catatan garis besarnya saja.
- Impromtu : berpidato tanpa melakukan persiapan (serta-merta atau improvisasi).
2. Membaca Teks PIdato
Sebelum pembacaan teks pidato dimulai, ada beberapa hal yang harus diperhatikan hal ini dilakukan agar pembacaan teks pidato berjalan lancar, penuh percaya diri dan tidak terjadi demam panggung.
- Mempelajari Teks Pidato : menguasai materi dan isinya dan cara pemenggalan kalimat.
- Mengadakan Pelatihan Intonasi Suara : Volume suara, artikulasi/kejelasan pengucapan, dan tempo pengucapan.
- Mengadakan latihan ekspresi : perubaha raut muka, gerakkan tangan, dan badan.
- Memperhatikkan penampilan dan sikap : cara menyebarkan tatapan mata, gaya berbicara, serta pemilihan busana yang wajar dan sopan.
- Menganalisis siapa pendengarnya, melatih penguasaan diri, dan melatih pengusaan panggung.
Daftar Pustka :
- Sobandi . 2012. Mandiri Bahasa Indonesia. Jakarta : Erlangga.
JENIS BUKU
Buku diklassifikasikan menjadi dua jenis, yaitu fiksi dan nonfiksi.
- Fiksi, buku yang apabila isinya berupa cerita rekaan, khayal, tidak sesuai dengan kenyataan, dan tidak sesuai dengan ilmu pengatahuan. Buku yang termasuk dalam jenis fiksi adalah buku cerpen, novel, cerita rakyat, komik, dan kumpulan puisi.
- Nonfiksi, buku yang apabila isinya berdasarkan kaidah pengatahuandan bersifat ilmiah. Buku yang termasuk dalam jenis nonfiksi adalah buku teori tentang satra, linguistik, hukum, biografi, filsafat, sejarah, ekonomi, kesehatan, pendidikan dan sebgainya.
Daftar Pustaka
- Sobandi . 2012 . Mandiri Bahasa Indonesia . Jakarta : Erlangga
Unsur-Unsur Karangan Ilmiah
Karya
tulis ilmiah memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut.
·
Berupa hasil pengamatan, penelitian atau
kajian literature,
·
Menjelaskan sejauh mana pemahaman
penulis terhadap masalah yang dibahas, dan
· Menampilkan keahlian dalam meramu bahan
dari berbagai sumber sehingga menjadi suatu karya tulis ilmiah yang utuh.
Unsur-Unsur
Karya Ilmiah
Sebuah
karya tulis ilmiah harus memiliki beberapa unsur yang membangun. Unsur-unsur
dalam karya tulis ilmiah adalah sebagai berikut :
·
Halaman judul
Judul memiliki fungsi untuk menarik minat pembaca.
Selain itu, judul juga menjadi sebuah gambaran tentang isi karya tulis ilmiah
yang disusun. Dalam halaman judul ini, penulis harus mencantumkan nama
penyusun, nama lembaga, tempat serta tahun penyusunan karya tulis ilmiah yang
disusun.
·
Halaman pengesahan
Dalam lembar pengesahan ini, penulis harus
mencantumkan tim pembimbing, meliputi nama serta kedudukan tim pembimbing dalam
karya tulis ilmiah tersebut.
·
Halaman persembahan
Halaman ini bersifat relatif. Kalian boleh
menyertakannya boleh juga tidak. Dalam halaman ini, dicantumkan penulis akan
mempersembahkan karya tersebut untuk siapa.
·
Kata Pengantar
Dalam kata pengantar hendaknya penulis mengemukakan
hal-hal seperti berikut.
a. Penjelasan
mengenai dalam rangka apakah penulis menulis atau menyusun karya tulis ilmiah
tersebut serta mengapa memilih bidang tersebut.
b. Pertanggungjawaban mengenai cara karya
tersebut disusun yang digambarkan secara umum.
c. Ungkapan
rasa terima kasih kepada pihak-pihak yang sudah berjasa selama penyusunan karya
ilmiah tersebut.
d. Harapan-harapan
penulis tentang manfaat dari karyanya baik itu untuk diri pribadi, pembaca,
maupun untuk perkembangan ilmu pengetahuan.
·
Abstrak
Bagian abstraksi berisi ringkasan karya ilmiah
secara menyeluruh. Abstraksi ini merupakan sebuah esai tentang karya ilmiah
tersebut yang ditulis secara utuh dan tidak dibatasi oleh subjudul. Abstraksi
juga merupakan esai yang terdiri atas serangkaian paragrafa yang bisa
mengomunikasikan inti dari karya ilmiah yang disusun secara keseluruhan.
·
Daftar Isi
Daftar isiini merupakan penyajian sistematik dari
sebuah karya tulis ilmiah. Daftar isi memiliki fungsi untuk memudahkan pembaca
dalam mencari judul maupun subjudul dari karya tulis ilmiah yang ditulis
tersebut. Dalam daftar isi, judul maupun subjudul harus ditulis dengan
mencantumkan nomor halamannya. Nomor untuk halaman awal sebelum bab I digunakan
angka romawi kecil, sementara untuk halaman pertama bab I sampai halaman akhir
digunakan angka.
·
Pendahuluan
Bagian pendahuluan ada di Bab I dan ditempatkan
secara khusus. Bagian ini meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, dan manfaat penelitian (penulisan).
·
Landasan Teori
Bagian ini ada di Bab II. Landasan teori berisi
penjelasan tentang hasil telaahan terhadap teori serta hasil penelitian yang
telah ada serta relevan dengan karya tulis ilmiah yang ditulis.
·
Metode Penelitian
Metode berbeda dengan teknik. Metode merupakan
prosedur yang dilakukan dalam melakukan penelitian yang dibahas dalam karya
ilmiah. Sementara teknik bisa diartikan sebagai cara khusus dalam memecahkan
suatu masalah yang dibahas dalam karya tulis ilmiah tersebut. Teknik ini
merupakan bagian dari metode.
·
Pembahasan
Bagian ini ada di Bab IV dan berisi judul dari hasil
penelitian serta pembahasannya. Pengolahan data dilakukan dalam bab ini.
Pengolahan data sendiri merupakan sorotan objektif terhadap masalah yang
diteliti dalam karya tulis. Tolok ukur dalam pengolahan data ini akan dikembalikan
pada tujuan, teori, serta metode pengolahan daya yang pada bab sebelumnya yang sudah dirumuskan.
·
Simpulan
Bagian simpulan atau rekomendasi ini ada di bab V
(Penutup). Dalam bagian ini, penulis menyajikan rumusan singkat serta terpadu
terhadap seluruh uraian yang sudah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya. Simpulan
ini bisa ditulis dalam bentuk butir-butir ataupun dalam bentuk esai. Sementara
rekomenndasi bisa ditujukan untuk pihak-pihak terkait seperti lembaga sekolah
atau peneliti lain yang ingin melakukan peneitian berikutnya.
·
Daftar Pustaka
Bagian ini berisi daftar buku, bahan-bahan
penerbitan, maupun artikel-artikel yang memiliki kaitan dengan penelitian yang
dilakukan dalam karya tulis tersebut. Contoh untuk penulisan daftar pustaka,
misalnya :
Putu Wijaya. 1987. Gress. Jakarta: Balai Pustaka.
Tiga
karakteristik karya ilmiah, di antaranya :
a. Merupakan
hasil penelitian atau pengamatan,
b. Menjelaskan
sejauh mana pemahaman penulis terhadap masalah yang dibahas,
c. Mengungkapkan
kemampuan penulis dalam meramu informasi sehingga menjadi sebuah karya tulis
yang utuh.
Daftar Pustaka :
http://samsungmobileprice.net/unsur-unsur-karya-ilmiah/ diakses 15-04-2016 ; 21:39
Langganan:
Postingan (Atom)