BAB I
PEMBAHASAN
A.
SASTRA SEBAGAI SENI : MASALAH ESTETIKA
1.
Ilmu sastra dan estetik
Karya sastra dapat didekati dari dua segi yang cukup
berbeda: sampai sekarang terutama dibicarakan masalah yang berkaitan dengan
sastra sebagai seni bahasa, dengan
tekanan pada aspek kebahasaannya dalam kaitan dan pertentangannya dengan bentuk
dan pemakaian bahasa yang lain. Tetapi sastra juga merupakan bentuk seni, jadi dapat didekati dari aspek
keseniannya. Dari segi inilah ilmu sastra merupakan cabang ilmu seni atau
estetik.
Dalam praktek penelitian sastra biasanya ilmu bahasa
lebih ditekankan dengan ilmu seni, sedangkan estetik sendiri lebih mencurahkan
perhatian pada seni-seni lain (khususnya seni lukis, seni patung, seni ukir,
seni tari, seni music, seni bangun, dan lain-lain) dari pada seni bahasa.
Alasan untuk mendahulukan seni-seni bukan bahasa mudah dipahami: justru seni
bahasa menimbulkan masalah yang khas, karena bahasa sebagai sarana seni bagi
seniman pada prinsipnya yang berbeda. Bahasa sebelum dipakai oleh seniman sudah
membentuk system tanda dengan system makna yang mau tak mau mendasari ciptaan
sastrawan. Masalah estetik tidak bisa didiamkan sama sekali dalam
sebuah buku yang ingin membicarakan aspek-aspek dasar sastra. Hasil-hasil dan
kesimpulan-kesimpulan yang telah diperoleh dalam rangka menyeluruh yang
bersifat semiotic dan yang memberikan perspektif.
2.
Sedikit Sejarah Estetik Sastra Barat
Estetik didunia barat sama tuanya dengan filsafat.
Khususnya dalaam filsafat Plato masalah estetik memainkan peranan yang sangat
penting. Keindahan yang mutlak menurut Plato hanya terdapat pada tingkat dunia
ide-ide dan dunia ide yang mengatasi kenyataan itulah dunia ilahi yang langsung
terjangkau oleh manusia, para filsuflah yang pertama-tamma dapat mendekati
dunia ide dengan harmoni yang ideal.
Seni sebagai pembayangan keindahan ideal berabad-abad
lamanya menjadi dasar ajaran estetik. Kemudian diwarnai oleh ajaran agama dan
filsafat Kristen. Manusia harus memanfaatkan seni dan kemampuannya sebagai
seniman dan penikmat seni untuk berbakti kepada Tuhan, untuk menghayati
kemahamuliaan Tuhan sebagai pencipta, dan untuk menyadari kehinaannya selaku
makhluk yang berdosa.
Pemandangan mengenai seni dari segi estetik pada masa itu
berdasarkan dua hal yang hakiki: pertama persatuan mutlak dari yang baik, yang
benar dan yang indah sangat lama menguasai estetik dunia Barat, dengan
konsekuensi pengabdian seni pada filsafat (teologi) dan etik; hanya baik dan
benar dapat bersifat indah; karya seni yang melanggar norma teologi atau etik,
norma kebenaran dan kebaikan, tidak mungkin indah. Dalam trilogy
baik-benar-indah, indahlah yang harus tunduk pada dua konsep yang lain.Cirri
khas yang lain ialah seni sebagai imitatio
(nature): peneladanan alam sebagai ciptaan Tuhan, semacam system menyeluruh
dari alam semesta yang tak terhabiskan kayanya sebagai sumber ilham, sehingga
untuk selama-lamanya akan mencukupi bagi manusia-seniman manapun juga.
3.
Estetik Terlepas Dari Norma Agama Dan Etika
Norma-norma untuk estetik pada suatu pihak terdapat dalam
etik dan filsafat, pada pihak lain pada model dunia semesta yang tinggal
diteladani saja. zaman humanism pandangan dunia dan anggapan estetik tetap
sama, memang secara sadar mengalami dan menikmati keindahan alam sebagai suatu
yang baru bagi dia pribadi; tetapi doa masih terikat pada alam sebagai teladan,
ciptaan tuhan dan penikmat yang secara sadar dialaminya bagi dia tidak menjadi
kemampuan yang menyanggupkannya selaku seniman merebut dunia menjadi perolehan
individual.
Estetik tidak tergantung lagi dari filsafat, teologi
ataupun etik. Keindahan menjadi otonom terhadap kebaikan dan kebenaran. Hal itu
berarti bahwa seni Barat kehilangan norma mutlak untuk keindahan. Pandangan
mengenai Estetik di barat berkembang ke berbagai arah, dua perkembangan masih
hendak disebut secara singkat. Pada satu pihak perkembangan yang menyerahkann
pengalaman estetik secara mutlak kepada penikmat, jadi pembaca, penonton,
pendengar: menurut pendapat ini keindahan, nilai estetik bukanlah suatu yang
secara obyektif terletak dalam karya seni: penikmat menjadi pencipta.
Seni secara mimetic muncul dari masyarakat semacam itu,
masyarakat secara alienasi atau keterasingan, yang dikuasai oleh nilai-nilai
estetik. Seni demi dan dari diri sendiri harus menyerang dan menafikan
kenyataan yang ada. Teori estetik penafian dalam masyarakat Barat modern dimana
masyarakat dikuasai oleh nilai-nilai kebendaan, dimana manusia makin terasing
dan dimana seni terancam pula oleh produksi yang ditentukan oleh nilai-nilai
konsumsi.
Secara universal kenikmatan, keterharuan, kekaguman,
kemarahan, yang ditimbulkan pada pembaca karya sastra tidak terikat pada
negativitas (tidak pula pada positivitas ataupun afirmasi belaka).
4.
Beberapa Pendekatan Estetik Indonesia: Melayu dan Jawa Kuno
Estetik yang universal dalam arti: umum diterima dan
berlaku untuk seni di segala masa dan tempat, belum ada; sebaliknya, perbedaan
dan pertentangan pendapat para ahli makin sengit, tergantung pada pendirian
filsafat, social-politik dan etik para ahli yang bersangkutan. Memang teori
estetik yang eksplisit tidak diketahui dibidang sastra Indonesia tradisional.
Tetapi ada konsepsi estetik yang secara implicit terkandung dalam sastra melayu
klasik dan dalam puisi jawa kuno. Teori ini belakangan digali oleh peneliti
karya-karya sastra yang bersangkutan dan yang kemudian di paparkan dalam studi
yang dangat menarik.
Braginsky secara sistematik mencoba
menguraikan konsep estetik yang mendasari sastra melayu klasik. Braginsky
membedakan tiga aspek pada konsep keindahan melayu: Aspek ontologisnya, yaitu keindahan puisi sebagai pembayangan kekayaan
tuhan yang maha pencipta; berkat cipta-Nya keindahan mutlak dari Tuhan (
al-jamal = Yang mahaelok) dikesankan pada keindahan dunia gejala (husn=indah), khususnya dalam karya seni
dan sastra. Kemudian aspek imanen dari
yang indah, yang terungkapkan dalam kata-kata seperti, ghaib, ajaib, tamasya, dan lain-lain, dan selalu terwujud dalam
keanekaragaman, keberbagaian yang harmonis dan teatur, baik dalam alam, maupun
dalam ciptaan manusia. Aspek ini antara lain dalam karya sastra terwujud dalam
evokasi taman yang indah-indah, ratna-mutu-manikam, perhiasan, dan lain-lain;
justru keterlibatan pancaindera dianggap cirri khas keindahan yang sempurna.
Aspek ketiga konsep indah melayu berkaitan dengan efeknya: aspek psikologis
ataupun pragmatic: efek pembaca yang menjadi heran, birahi, leka, lupa, yang
kehilangan kepribadiannya karena mabuk, dimabuk warna, keanekaragaman dan
lain-lain, yang juga terungkap dalam istilah pelipur lara.
Konsepsi estetik jawa kuno
berdasarkan penelitian puluah teks kakawin (bentuk puisi epic yang terkenal
dalam bahasa jawa kuno)mencapai kesimpulan bahwa puisi bagi sang penyair (kawi namanya) adalah semacam yoga; kawi
sendiri orang yogin, yaitu orang yang
melakukan yoga atau latihan rohani tertentu. Dalam agama Hindu-Jawa yoga adalah
usaha manusia untuk mencapai kesatuan dengan Sang Dewa, dan lewat kesatuan
keagamaan itu manusia akhirnya mencapai moksa,
kelepasan pembebasan akhir dari rantai ekstensi. Bagi orang lain yoga biasanya
bersifat usaha rohanu (pengabdian kepada sang Dewa lewat tapa, brata, puasa,
studi, semadi, sesajen, pembacaan teks agama dan lain-lain). Lewat
bermacam-maca, manusia harus mencoba mengurungkan sang Dewa ke bumi agar
manusia dapat bersatu dengan Dewa itu.
Dalam kawawin yang melaksanakan
keindahan lewat bahasa ( kalangwan,
beauty) diciptakan wadah keindahan membentuk dan menjelmakan keindahan,
agar dapat menjadi wadah sang Dewa dan sekaligus obyek pemusatan pikiran, baik
bagi penciptanya, maupun untuk orang yang membaca, membacakan dan mendengarkan
kakawin itu.
5.
Tegangan sebagai Dasar Penilaian Estetika
Setiap masyarakat dan kebudayaan
mengembangkan estetik yang sesuai, entah itu dieskplisitkan atau tinggal
implicit dalam sastra dan kebudayaan. Oleh karena itu, penelitian estetik harus
mendapat tempat yang layak dalam rangka penelitian kebudayaan umum.
Nilai estetik adalah sestau yang
lahir dari tegangan antara pembaca dan karya; tergantung pada aktifitas pembaca
selaku pemberi arti. oleh karena itu nilai estetik adalah proses yang
terus-menerus, bukan pemerolehan yang tertata, sekali diperoleh tetap
dimengerti.
Jadi tegangan adalah, syarat mutlak,
dasar hakiki untuk penikmatan estetik; dan tegangan itu pertama-tama terjelma
antara karya seni sebagai pemberian dan penikmat sebagai variable, tapi
tegangan itu ternyata sangat kompleks dan anekaragam; hal itu dapat dikupas
secara lebih mendetail, berdasarkan model semiotic menyeluruh yang telah
dikembangan langkah demi langkah dalam bab-bab yang mendahului.
6.
Tegangan Pertama: Fungsi Puitik Bahasa
Tegangan yang pertama yang dihadapi
oleh pembaca tidak perlu dibicarakan lagi dengan panjang lebar: yakni tegangan
yang ditimbulkan oleh pemakaian bahasa sendiri dalam seni sastra. Setiap
sastrawan, baik dalam masyarakat tradisional maupun modern, mempermainkan
bahasa, sesuai dengan norma-norma yang terdapat masyarakat itu sendiri. Dalam
sastra arti sehari-hari ditingkatkan menjadi makna semiotic, entah disebut
ambiguitas, ironi atau apapun itu.
Di sini jelas adanya tegangan antara
harapan yang harus dipenuhi dan disimpangi sekaligus. Tegangan dapat terjadi
karena bermacam-macam keistimewaan: pemakaian kata-kata yang aneh, kolot,
asing, kata majemuk yang baru.
7.
Tegangan Yang Inheren Pada Stuktur Karya Sastra
Struktur karya sastra bersifat
multidimensional, atau berlapis-lapis, seringkali disebut hirearkis. Entah
pembagian struktur berlaku universal atau tidak, namun jelaslah setiap karya
sastra mempunyai sejumlah aspek yang paling menopang dan yang seringkali
menunjukkan interaksi yang kuat sekali. Interaksi dan tegangannya diperjelas
dan dikupas dengan teliti, dan jelas bahwa tegangan merupakan syarat untuk
penikmatan estetik. Pembaca sebuah karya terus berada dalam situasi tegang
antara semua aspek yang ingin dibina menjadi keseluruhan yang utuh.
Perlu diingat bahwa stuktur semacam
itu tidak bersifat mutlak, pembaca harus menciptakan tegangan itu, yang
potensinya diberikan dalam karya sastra, tetapi pelaksanaannya tergantung pada
sesanggupan pada pembaca itu sendiri.
PENUTUP
A. Simpulan
Karya
sastra dapat didekati dari dua segi yang cukup berbeda: sampai sekarang
terutama dibicarakan masalah yang berkaitan dengan sastra sebagai seni bahasa, dengan tekanan pada aspek
kebahasaannya dalam kaitan dan pertentangannya dengan bentuk dan pemakaian
bahasa yang lain. Tetapi sastra juga merupakan bentuk seni, jadi dapat didekati dari aspek keseniannya. Dari segi inilah
ilmu sastra merupakan cabang ilmu seni atau estetik.
Penelitian sastra biasanya
ilmu bahasa lebih ditekankan dengan ilmu seni, sedangkan estetik sendiri lebih
mencurahkan perhatian pada seni-seni lain (khususnya seni lukis, seni patung,
seni ukir, seni tari, seni music, seni bangun, dan lain-lain) dari pada seni
bahasa. Alasan untuk mendahulukan seni-seni bukan bahasa mudah dipahami: justru
seni bahasa menimbulkan masalah yang khas, karena bahasa sebagai sarana seni
bagi seniman pada prinsipnya yang berbeda.
DAFTAR
PUSTAKA
Annisa Nurbaiti . 2015 . Tugas Sastra . Jakarta